Kehidupan yang berkeadilan merupakan salah satu
cita-cita supremasi penegakan hukum di negara kita. Namun pada kenyataannya hal
tersebut masih sangat sulit untuk di terapkan, apalagi sikap apatis yang saat
ini sering di tujukan pada setiap aparatur penegak hukum kita yang selalu di
anggap tidak kompeten atau apalah itu. Padahal perlu di ketahui bahwa pada
kenyataannya di dalam peraturan perundang-undangan yang selama ini berlaku
masih ada banyak celah ataupun aturan-aturan yang saling berbenturan. Contoh kecilnya
mengenai masalah kecil mengenai status hukum terhadap seorang wanita yang saat
ini masih terlalu memihak.
Perlakuan diskriminasi seperti itu biasanya
terletak pada perbuatan hukum bagi seorang wanita untuk bertindak dalam
kejadian ataupun peristiwa yang menimbulkan akibat hukum. Aturan-aturan hukum
yang diskriminasi seperti ini biasa di jumpai pada Burgelijk wetboek ( bahasa
gampangnya adalah KUHperdata) dan berikut adalah beberapa pasal terdapat di
beberapa peraturan perundang-undangan yang terindikasi tidak mencerminkan
cita-cita hukum bangsa yang berkeadilan :
- Pada pasal 108 KUHPer disebutkan bahwa seorang istri
tidak cakap melakukan perbuatan hukum sendiri, dan harus melalui persetujuan
dari suaminya
- Pasal 3 Ayat (2) UU No 1/1974 tentang Perkawinan
yang berbunyi " Pengadilan, dapat memberi izin kepada seorang suami untuk
beristeri lebih dari seorang apabila dikendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan
".
- Pasal 4 Ayat (2) UU No. 1 tahun 1974 tentang
perkawinan yang berbunyi sebagai berikut :
“ Pengadilan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini
hanya memberi izin kepada suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila:
a. istri tidak dapat memnjalankan kewajibannya
sebagai isteri;
b. istri mendapat cacat badan atau penyakit
yang tidak dapat disembuhkan;
c. istri tidak dapat melahirkan keturunan.”
Itulah beberapa peraturan yang secara
harfiah dapat kita tafsirkan bahwa memang dalam pasal-pasal tersebut telah
menimbulkan tindak diskriminasi terhadap seorang wanita. Terkait dengan pasal
108 KUHPer yang menyatakan mengenai perbuatan seorang wanita yang di anggap
tidak cakap dalam hal perbuatan hukumnya, saya rasa pasal tersebut sangatlah
bertolak belakan dengan apa yang di sebutkan dalam pasal 3
KUHPer d bahwa hukum tidak dapat mengakibatkan manusia mati secara perdata,
yang artinya bahwa setiap manusia terlahir dengan membawa hak.
Kemudian terkait
dengan sikap diskriminatif yang terdapat dalam pasal 3 ayat (2) UU no 1. Tahun 1974
yang memberikan peluang seorang laki-laki untuk melakukan poligami saya rasa
juga akan merugikan hak seorang perempuan. Mungkin hal ini sedikit bertentangan
dengan pasal 3 ayat satu yang berbunyi “Pada
asasnya seorang pria hanya boleh memiliki seorang isteri.Seorang wanita hanya
boleh memiliki seorang suami.”
Dan mengenai pasal 4 ayat
2 dalam UU perkawinan no 1 tahun 1974 saya rasa juga sangatlah diskriminatif
terhadap kaum perempuan. Pertanyaannya adalah bagaimana kalau syarat-syarat
tersebut di balikan kepada seorang laki-laki, apakah perempuan juga di
perbolehkan untuk melakukan poliandri? Sudah pastinya tidak boleh bukan.
Jadi begitulah sedikit penjelasan terkait dengan pasal-pasal yang
menurut saya selain diskriminatif juga sangat tidak konsisten yang mana juga
telah di temukan saling bentroknya antara pasal satu dengan pasal lainnya. Untuk
itu melihat kondisi permasalah seperti ini, maka sangatlah diperlukan suatu
pembaharuan produk hukum terhadap setiap hukum positif kita yang tidak
mencerminkan sistem hukum yang menjunjung keadilan sosial bagi seluruh subjek
hukum.